Fotografi tak lagi monopoli kaum menengah ke atas. Seni menjepret objek itu kini sudah menjadi alat mobilitas ekonomi masyarakat kelas bawah. Komunitas Kelas Pagi Jakarta membuktikannya dengan program sekolah fotografi gratis bagi siapapun yang mau ikut. Banyak pegawai rendahan, bahkan buruh bangunan yang sukses jadi fotografer komersil berpenghasilan tinggi.
AGUNG PUTU-THOMAS KUKUH, Jakarta
PAGI itu (20/1), langit Jakarta sedang cerah. Secerah wajah lima’’siswa’’ Komunitas Kelas Pagi Jakarta yang sejak pukul 05.45 sudah standby di depan rumah fotografer kondang Anton Ismael di kawasan Pinang Mas, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Mereka duduk di teras rumah Anton yang tidak terlalu luas. Beberapa orang harus rela duduk di atas pavingstone dengan alas sandal jepit. Mereka juga harus berbagi ruang dengan sepeda motor yang diparkir di dalam rumah.
Mereka adalah M Arifin, Pipit Fitriyani, Latif Usman, Ridho Ardiansyah, dan Ari Mayor. Dua siswa lagi sedang absen. Mereka berlima adalah pekerja di Gudang Galeri di daerah Panglima Polim, Jakarta Selatan. Pagi itu, mereka menunggu Anton, sang guru fotografi, yang hendak menurunkan ilmunya.
“Kami biasa memanggilnya Pak’e. Soalnya dipanggil Mas enggakmau karena katanya sudah enggakmuda, dipanggil bapak enggak mau karena merasa belum pantas,” kata Ari Mayor yang bekerja sebagai bartender di Gudang Galeri, lantas terkekeh.
Tak lama kemudian, Anton keluar rumah. Penampilannya nyentrik dengan rambut tipis di pelipis plus sedikit dreadlock. Lelaki 37 tahun itu lantas membuka kelas dengan ucapan khas: selamat pagi! “Kami membuka dan menutup kelas dengan selamat pagi. Di manapun ada acara, salamnya selalu selamat pagi. Biar fresh,” kata Anton lantas tersenyum.
Komunitas Kelas Pagi Jakarta sejatinya memiliki dua kelas. Yakni kelas reguler dan kelas khusus. Dua-duanya sama-sama gratis. Yang dikelola Anton di rumahnya adalah kelas khusus para pekerja. Mereka dibuatkan kelas spesial karena berlatar belakang sama. Yakni, sama-sama tidak punya kamera. Mereka cuma punya satu kamera yang dipakai bergantian.
Sedangkan peserta reguler di Kelas Pagi Jakarta, hampir semuanya sudah memiliki kamera. Mereka juga umumnya sudah mengetahui dasar-dasar fotografi. Biasanya kelas diadakan di studio milik Anton di kawasan Jakarta Selatan. Tapi, untuk sementara, kelas tidak aktif karena studio sedang direnovasi.
Parasiswa di kelas khusus juga mendapat “fasilitas” berbeda. Mereka mendapat jatah sarapan setiap kali hadir di kelas. Mereka juga ditangani langsung oleh Anton yang sempat mengenyam pendidikan Art in Photography Studies di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Australia. “Jadi kami ini rasanya seperti sekolah di Australia,” kata Arifin diikuti tawa teman sekelasnya.
Pagi itu merupakan pertemuan kesembilan. Materinya, directing model alias mengarahkan model. Anton meminta mereka bergantian berperan sebagai model dengan berbagai ekspresi. Sebagai calon fotografer handal, mereka diminta untuk mengarahkan sang model. Mulai dari eksperesi senang dan marah, hingga ekspresi kemayu/centil.
Sebelumnya, para siswa sudah belajar tentang sejarah fotografi hingga teknik-teknik dasar fotografi. Mereka juga sempat hunting di kawasan bersejarah di Kota, Jakarta Pusat. Agar para siswa serius berlatih, Anton memberlakukan sejumlah aturan tegas. “Biar mereka serius. Mentang-mentang ini gratis terus bisa keluar masuk seenaknya,” kata lelaki kelahiran Jakarta tapi besar di Jogjakarta itu.
Salah satunya, semua peserta harus mengerjakan PR dan tugas. Hampir di setiap pertemuan, Anton selalu memberi mereka PR dan memberi deadline. Jika ada satu saja peserta yang tidak mengerjakan, kelas akan dibubarkan selamanya. Itu membuat para peserta saling mengingatkan satu sama lain agar mengerjakan tugas.
Karena kamera cuma satu, mereka harus rela bergantian. Biasanya, yang membawa kamera adalah karyawan yang sedang libur. Kebetulan, masing-masing memiliki hari libur berbeda dalam satu minggu. “Untung jumlah hari ada tujuh. Coba kalau hari cuma ada enam. Bisa-bisa kami rebutan,” ujar Ridho diamini teman-temannya.
Kelas diadakan dua kali seminggu. Baik reguler maupun kelas khusus. Proses belajar mengajar diadakan di teras rumah Anton dan berlangsung pukul 06.00-09.00. “Kalau ada kelas, saya biasanya enggak tidur. Soalnya kalau tidur pasti kelewatan,” kata Pipit Fitriyani.
Anton menuturkan, Kelas Pagi Jakarta dimulai sejak 2006. Awalnya, ada beberapa rekannya yang mendatanginya untuk berguru ilmu fotografi. Lelaki bertubuh subur itu sempat bingung mengatur waktu. Pasalnya, order memotret dia sangat banyak. Bahkan seringkali pekerjaan baru selesai pukul 03.00 dini hari.
Anton lantas menyediakan waktu pada pagi pukul 06.00. Alasannya, pada jam tersebut orang-orang belum memulai aktivitas. Dia juga belum berangkat bekerja. Anton sangat kaget karena ternyata orang yang semangat belajar fotografi semakin hari semakin banyak. Mereka juga rela pagi-pagi berguru pada dirinya.
Jumlah peserta semakin meningkat. Apalagi ketika kelas tersebut diumumkan di jejaring sosial. Semakin banyak yang ikut hingga seringkali ruang studio yang digunakan tidak cukup. Pada 2009, kelas yang sama juga diadakan di Jogjakarta dengan nama Kelas Pagi Jogjakarta. “Niat saya cuma sharing dan diskusi. Eh, ternyata banyak yang pengen ikut,” katanya.
Mantan fotografer majalah Rolling Stone itu juga tidak mau mematok tarif. Dia beranggapan bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan secara cuma-cuma. Peserta berlatar belakang apapun dia terima. Selain karyawan kantor, mahasiswa, dan jurnalis, dia juga mendapat siswa orang-orang menengah ke bawah. Yakni, tukang batu, pengangguran, bahkan ada juga pemadat. Proses belajar di Kelas Pagi Jakarta, kata Anton, berlangsung selama setahun dan diakhiri dengan pameran bersama.
Anton mengungkapkan, banyak cerita sukses orang-orang yang tadinya bukan siapa-siapa akhirnya bisa hidup dari fotografi. Pernah, dia punya siswa yang setiap hari bekerja sebagai tukang batu. Sebelum bekerja mengaduk pasir dan semen, dia ikut Kelas Pagi. Karena tidak punya kamera, dia pinjam ke teman sekelas.
“Sekarang dia sudah jadi fotografer komersil yang hebat. Kalau lagi jalan-jalan, foto-fotonya banyak nampang di billboard. Saya enggak bisa sebut namanya dong. Enggak etis-lah,” ujar Anton. Lelaki kelahiran 17 September 1975 itu juga pernah punya murid pencandu narkoba. Setelah ikut Kelas Pagi, semangat hidup pemadat tersebut muncul kembali. Saat ini, dia juga salah satu fotografer komersil yang cukup dikenal di Indonesia.
Lelaki bernama lengkap Antonius Widya Ismael itu lahir dari orang tua yang memiliki sanggar seni di Jogjakarta. Anton memulai kariernyasebagai fotografer profesional pada 2000 dan kemudian bekerja untuk fotografi komersial. Dia juga bekerja sama denganmajalah fashion seperti Harper Bazaar, Amica, Dewi, dan majalah lainnya seperti Rolling Stone.
Anton sudah menggelar berbagai karya seniyang melibatkan proyeksi visual dan instalasi dalamberbagai pamerandi Jakarta. Sebagai fotografer komersial, kliennya datang dari berbagai produk. Di antaranya produk elektronik, sejumlah merek rokok, bank, hingga maskapai penerbangan.
Saat ini, sudah ada sekitar 1.200 orang lebih lulusan Kelas Pagi Jakarta. Banyak dari mereka yang terjun ke fotografi komersial. Mereka yang sebelumnya hanya pegawai rendahan, kini bisa mendapat kesejahteraan yang lebih dari cukup via fotografi.
Meski banyak dari mereka yang terjun ke jalur fotografi komersil, Anton tak pernah merasa tersaingi. “Saya sering diadu sama murid sendiri. Tidak apa-apa. Masing-masing orang punya rezeki. Semua orang akan mati. Semua orang akan jatuh karena waktu dan usia. Saat muda kita enerjik dan laku banget, tapi suatu hari kita semua akan turun. Dengan banyak berbagi ilmu, saya ingin saya turun dengan cara yang baik dan landai. Tidak anjlok,” katanya lantas tersenyum.
Sumber : http://www.kaltimpost.co.id
Kuli Bangunan Yang Menjadi Fotografer Profesional
Posted by Unknown
Posted on 05.32
with No comments
0 komentar:
Posting Komentar